Rabu, 02 Maret 2011

contoh hak dan kewajiban

berikut ini merupakan salah satu bentuk contoh dari hak dan kewajiban sebagai warga negara Indonesia
misalnya hak untuk beragama .  Hubungan Ahmadiyah dengan PemerintahJema’at Ahmadiyah Indonesia berdiri sejak tahun 1925 dan diakui Pemerintah Republik Indonesia cq Menteri Kehakiman Republik Indonesia sebagai badan hukum pada 1953. Hal itu tercantum dalam ketetapan menteri tertanggal 13 Maret 1953, nomor JA.5/23/13 yang dimuat dalam Berita Negara Republik Indonesia Nomor 22 tanggal 31 Maret 1953. Ketetapan ini kemudian diubah dengan akta perubahan yang telah diumumkan di dalam Berita Negara Nomor 3 tahun 1989; dan Tambahan Berita Negara Nomor 65 tanggal 15 Agustus 1989. Pengakuan itu diperkuat dengan pernyataan Departemen.
sedangkan kewajibannya misalnya dengan membayar pajak negara.
Liu Xiaoqin, Seorang artis terkenal China pernah dijebloskan ke penjara karena penggelapan pajak. Begitu tegasnya pemerintah China menegakkan peraturan perpajakan. Tak peduli artis, pejabat, pengusaha, atau siapa pun yang coba-coba memanipulasi nilai pajak yang harus dibayarkan kepada negara, akan berurusan dengan hukum. Apa yang dilakukan pemerintah China tentunya juga dilakukan pemerintah Indonesia. Hanya saja masih setengah hati. Terbukti, dari jumlah penduduk Indonesia yang lebih dari 220 juta orang dengan potensi pajak yang berlimpah, menurut data Direktorat Jenderal Pajak, sampai akhir 2007 jumlah pembayar pajakyang ditandai kepemilikan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) masih sangat sedikit, yakni hanya 4 juta orang. Padahal kalau anggapan orang berpenghasilanyang dapat dikenakan pajak berjumlah separuhnya atau 27,5 juta orang, berarti sejumlah itu pula orang Indonesia yang harus memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP).

Penyebab rendahnya kesadaran membayar pajak orang Indonesia tentunya bukan tanpa sebab. Banyak yang malas membayar pajak berdasarkan NPWP karena sudah terlalu banyak membayar pajak dalam keseharian mereka. Sebagai contoh seorang karyawan yang berpenghasilan tetap. Setiap menerima gaji bulanan sudah dipotong pajak, kemudian belanja di supermarket harga barang sudah termasuk pajak, tabungan di bank juga dipotong pajak, nonton film di bioskop harga tiket termasuk pajak, makan di restoran bayar pajak, dan masih banyak aktivitas lain yang dikenakan pajak. Wajar jika kemudian orang tersebut tak mau lagi punya NPWP. Itu terjadi akibat berbagai macam pajak yang sudah membebaninya setiap saat. Belum lagi persepsi negatif masyarakat terhadap intansi perpajakan berikut oknum-oknumnya. Sejak dulu, sudah menjadi rahasia umum jika kolusi dan korupsi di instansi perpajakan merajalela. Akibatnya tingkat kepatuhan rakyat untuk membayar pajak menjadi terpengaruh.
Contoh laindi dunia hiburan, dalam hal ini yang menimpa para artis, baik itu penyanyi, pemain sinetron/film, bintang iklan, dan lain sebagainya.Jika menerima honor, dana yang diterima biasanya sudah dipotong pajak. Tidak sedikit artis yang sudah mempunyai nama dan punya posisi tawar tinggi, jika menerima kontrak pekerjaan memberi syarat, pajak ditanggung penyelenggara atau pemangku hajat. Dengan begitu, si artis tersebut merasa kewajibannya sebagai warga negara untuk membayar pajak berdasarkan NPWP tidak diperlukan lagi. Belum lagi segala aktivitas yang membutuhkan pembayaran juga dikenai pajak.
Namun tak sedikit artis top yang masih tetap dikejar-kejar petugas pajak, karena dianggap belum memenuhi kewajiban membayar pajak atas penghasilan dan nilai kekayaan yang dimilikinya. Ancamannya pun tak main-main, jalur hukum menjadi senjata. Sehingga sang artis mau tidak mau, demi nama baiknya tetap membayar pajak berdasarkan NPWP. Namun tak sedikit pula artis yang membayar pajak lewat jalan belakang, berdamai dengan pejabat perpajakan, sehingga jumlah yang dibayarkan jauh lebih rendah dari nilai semestinya. Dengan catatan, sang pejabat pun mendapat cipratan “uang damai”. Fenomena seperti ini sudah menjadi tradisi, sehingga muncul istilah TST atau “tahu sama tahu”.

Besarnya potensi korupsi pajak semestinya disikapi dengan melakukan reformasi birokrasi perpajakan. Reformasi ini bukan hanya mereformasi adminstrasi perpajakan, tetapi harus melakukan reformasi birokrasi menyeluruh menyangkut aspek penegakan hukum terhadap aparat pajak yang melakukan praktek tercela, baik pada tahap penghitungan pajak maupun penyetoran pajak, hingga penggunaan dana pajak.
Sudah setahun lamanya Masyarakat Film Indonesia (MFI) mendesak pemerintah agar transparan mengenai penggunaan dana pajak. Kelompok sineas muda yang dimotori Mira Lesmana, Riri Riza, Hanung Bramantyo, dan lain-lain itu tidak menuntut transparansi dana pajak secara menyeluruh, tapi hanya dana pajak yang dipungut dari bidang perfilman. Contohnya, pajak yang dipungut kepada penonton film di bioskop. Belum lagi pajak yang dipungut para importir film asing yang diputar di bioskop tanah air. Tak hanya itu, film nasional yang melakukan proses finishing akhir di laboratorium yang ada di luar negeri, ketika kembali ke Indonesia setelah menjadi sebuah film utuh, juga dikenai pajak masuk, persis seperti film import meski jelas bahwa itu adalah film nasional.
Jika dihitung nominalnya, semua pajak yang masuk dari film saja entah berapa triliun rupiah jumlahnya. Yang mengherankan, seperti yang menjadi tuntutan MFI, minim sekali dana yang dianggarkan pemerintah untuk kemajuan film nasional. Bahkan untuk membiayai Festival Film Indonesia (FFI) selalu kesulitan. Bahkan pada FFI 2007 yang berlangsung di Riau belum lama ini, dana paling besar justru dikeluarkan dari dana Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), yang jumlahnya mencapai 8 miliar rupiah. Tak heran jika kemudian menimbulkan kontroversi dari masyarakat Riau karena merasa uang milik mereka bayak dihambur-hamburkan. “Padahal, kalau semua dana yang didapat dari pajak perfilman itu jelas juntrungannya, dunia film Indonesia bisa jauh lebih maju. Seharusnya dengan dana itu, negara kita punya bisa punya banyak laboratorium film. Dan tidak perlu lagi ada film nasional yang dibawa ke laboratorium di luar negeri,” kata Hanung Bramantyo.
Pemahaman pemerintah terhadap partisipasi masyarakat yang rendah dalam perpajakan juga masih sangat rendah. Partisipasi masyarakat selain kewajiban membayar seharusnya juga dengan dilibatkan dalam proses penggunaannya. Sehingga masyarakatsebagai pembayar pajak mengerti fungsi dan manfaat pajak yang dibayarnya. Bila rakyat mengerti, niscaya akan dapat memacu tingkat kepatuhan membayar pajak.
Demikian pula dari segi peristilahan. Istilah “wajib pajak” yang dilekatkan pada masyarakat lebih berkonotasi otoriter, karena seakan-akan masyarakat sebagai warga negara hanya memiliki kewajiban tanpa adanya hak. Istilah “wajib pajak” juga seharusnya diganti menjadi “pembayar pajak” agar tercipta keseimbangan antara hak dan kewajiban yang dimiliki masyarakat.
Padahal, pajak adalah kontrak ekonomi dan politik antara pembayar pajak dengan pemerintah. Pembayar pajak berhak mendapatkan jasa layanan pemerintah melalui fungsi pelayanan publik yang standar. Bila layanan pemerintah terhadap masyarakat kurang berkualitas, maka hak masyarakat juga untuk menolak membayar pajak.



sumber :
http://www.jevuska.com/topic/contoh+hak+kebebasan+beragama.html
http://history22education.wordpress.com/2011/02/06/kesadaran-membayar-pajak-kewajiban-atau-beban/

1 komentar: